Di suatu  hari ada seorang kepala suku. Kepala suku itu sangat dihormati  oleh rakyatnya. Bukan hanya karena keperkasaan fisiknya, namun juga karena  ketegasannya dalam menegakkan hukum di sukunya sehingga suku itu sangat  aman dan tentram.
  Pada suatu hari ada seorang warga sukunya yang melaporkan bahwa salah  satu hewan ternaknya telah hilang dicuri orang. Kemudian, setelah  mendengar berita itu kepala suku mengumpulkan rakyatnya. Dan ia berkata  kepada semua rakyatnya.
“Hukum  harus ditegakkan!!! Barang siapa yang mencuri di suku kita akan dihukum  dua puluh lima kali cambuk.” (Sahut kepala suku dengan suara yang  lantang).
  Keesokan harinya ada salah satu warganya lagi yang melaporkan pencurian  hewan ternak yang telah menimpa dirinya. Lalu kepala suku itu menaikkan  hukuman sampai lima puluh kali cambuk. Kejadian itu terus terjadi hingga  tiga kali. Tak tanggung-tanggung, kepala suku menaikkan hukuman hingga  seratus kali cambuk.
  Hari berikutnya, kepala suku itu melihat warganya sedang berkerumun di  depan rumah salah satu warga. Dan ia bertanya kepada salah satu warganya.
“Ada apa ini? Kenapa mereka semua berkerumun seperti itu?” (Sahut kepala suku).
“Ada  seorang pencuri yang sedang dihakimi warga. Dengar-dengar katanya yang  dihakimi itu adalah pencuri yang mencuri hewan-hewan ternak di suku kita  ini.” (Sahut salah satu warga sukunya).
“Cepat antar aku ke sana!” (Sahut kepala suku).
“Baik kepala suku!” (Sahut salah satu warganya).
 Sesaat kepala suku itu tiba di tempat warganya berkerumun, ia berkata kepada semua warganya yang ada di tempat itu.
“Berhenti…berhenti. Kalian tidak boleh main hakim sendiri.”(Sahut kepala suku).
 Ketika melihat pencuri itu, ia terkejut. Ternyata pencuri itu adalah putranya sendiri.
“Apa! Tidak mungkin…tidak mungkin.”(Sahut kepal suku sambil terkejut).
  Saat ini kepala suku tengah mengalami dilema. Apa yang harus ia  pilih. Apakah ia harus membela anaknya dan membatalkan semua hukuman itu  ataukah malah sebaliknya. Tapi, hukum harus tetap ditegakkan. Dan akhirnya  kepala suku itu merelakan putranya untuk dihukum.
  Keesokan harinya tiba waktunya eksekusi. Putra kepala suku itu diikat di  tiang dengan mata tertutup oleh sehelai kain. Dan algojo telah  bersiap-siap dengan membawa cambuk dan mengambil tempat tepat di samping  putra kepala suku. Algojo itu mengangkat tinggi-tinggi cambuknya sambil  menunggu aba-aba dari kepala suku. Namun, bukan aba-aba yang didengar oleh  algojo itu. Melainkan teriakan yang keluar dari mulut kepala suku.
“Tunggu!” (Teriak kepala suku sambil bergegas menuju putranya).
 Kepala suku itu melepas baju kebesarannya dan menutupi seluruh tubuh anaknya.
“Jangan cambuk anakku, lebih baik cambuklah aku!” (Sahut kepala suku).
 Karena itu perintah kepala suku, akhirnya algojopun mencambuk kepala suku. Setiap kali ia di cambuk, ia berkata kepada anaknya.
“Ayah sayang kepadamu nak! Ayah tidak akan membiarkan seorangpun menyakitimu.” (Teriak kepala suku).
  Karena melihat peristiwa itu, semua orang yang ada di tempat itu terharu  atas sikap kepala sukunya. Bahkan isteri dan putranya juga menangis. Saat  itulah kasih sayang seorang ayah muncul.
  
