Posting Terpopuler Minggu Ini

Guru Terbaik Pagi Ini


Pagi ini aku duduk di pinggir hangatnya tungku api tukang serabi (orang sunda menyebutkan 'surabi'). Selain untuk menikmati beberapa buah diantaranya, aku pun mencoba mencari pelajaran berharga dari alam dan sekelilingnya. Beruntung walaupun langit tetap mendung, hari ini langit sedang rehat mengucurkan guyuran airnya ke atas tanah. Namun bagaimanapu, bagiku alam dan Isinya adalah guru terbaik kehidupan kita.

Semua berangsur dengan biasa, tidak ada yang istimewa. Ada orang-orang berjalan sambil bersenda gurau walau bergerak hanya kekuatan kakinya. Ada orang-orang menggunakan sepeda motor begitu santainya walaup tidak ber-helm. Anak-anak sekolah yang terdengar berteriak-teriak penuh tawa di mobil jemputannya, walau dengan menghamburkan beratus-ratus kartu mainnya. Semua berserakan menyebar di jalanan yang tidak terlalu ramai di depanku.

Aku pikir mobil jemputan itu akan berhenti untuk memberi waktu anak yang menjatuhkannya untuk memunguti kartu-kartu berserakan itu. Ternyata tidak. Aku telah salah sangka karena mobil itu terus melaju bahkan terus belok ke jalan raya utama yang lebih ramai lagi.

Tidak ada yg istimewa terlihat setelahnya. Semua tetap berjalan seperti biasa. Padalah masyarakat kita sudah terbiasa dengan budaya berburu dan berebut ketika mendapatkan sesuatu berserakan di jalan. Entah berburu serakan dus-dus minuman kotak ketika kontainernya terguling. Entah berebut berburu mengais tumpahan minyak karena bocornya tangki truk pengangkutnya yg menabrak pembatas jalan. Jangankan berpikir halal atau haramnya barang yang mereka ambil. Jangankan mikir kemaslahatan, untuk menolong awak truk yang terkena musibah pun susah dilakukan.

Aku berdiri setelah selasai membayar semua yang dimakan. Meski tidak ada yang luar biasa, aku tetap harus terus melanjutkan perjalananku hari ini. Kumenoleh ke kiri dan kanan jalan, berharap mendapatlan sesuatu yang luar biasa. Tetap tidak ada, kecuali seorang anak sekolah yang berjalang biasa pula, malah lebih terlihat lunglai.

Selintas terlihat seperti postur anak-anak didikan pendekar kungfu di kuil dalam film-film Cina. Kepalanya memang tidak plontos, tapi rambutnya dicukur rata dan tersisa sekitar setengah senti. Dia memakai baju koko seragam wajib anak-anak sekolah di hari Jumat pada umumnya. Baju koko putih yang berstrip hitam di bantalan kancingnya pun agak sedikit kepanjangan. Berbeda dengan seragam murid-murid kungfu yang berwarna sama, anak ini menggunakan celana panjang berwarna hitam yang terlihat sedikit kependekan. Itu gambaran biasa anak indonesia dari keluarga yang sangat sederhana. Tidak ada yg luar biasa.

Yang tidak biasa dia dapatkan adalah keisengan yang memang biasa kulakukan. Ketika dia sudah sejarak gapaian tangan kepadaku, aku berkata:
"Dik, suka kartu, khan? Tuh ambillah kartu-kartu yang berserakan untuk bermain-main nanti!"

Aku yang seumuran dia sedang menggandrungi segala jenis kartu. Anak yang menjatuhkan dari mobil jemputan tadi pun seumuran dia. Kalaupun anak yang mirip murid shaolin ini mau membeli ratusan kartu seperti yang berserekan itu, butuh perjuangan besar. Mungkin uang jajan sebulannya pun belum sampai sejumlah itu.

Kupandang dia dengan senyum keyakinan bahwa firasatku dalam menduganya akan benar. Dia dengan segala upaya penuh semangat akan mengumpulkan ratusan kartu yang berserak. Dia adalah anak biasa yang mudah kutebak.

Namun seperseribu detik kemudian, jawabannya benar-benar menohok firasatku. Dia menjawab sambil berlalu dengan dingin.
"Enggak mau, akh! Itu bukan milik saya"

Pikiranku langsung melesat beribu-ribu kilometer menembus lapisan awan. Hanya untuk membayangkan perilaku masyarat Indonesia dari ketinggian sikap jujur anak berkuliat hitam yang mirip murid shaolin. Hitam kulitnya, putih luar biasa hatinya. Ternyata anak yang kutemui ini yang menjadi guru luar biasa di pagi ini.

SHARE THIS POST:

FB Share Twitter Share Lintasberita

Artikel Terkait: